Allah Ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا
“dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu jadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kalian dahulu berada di tepi jurang neraka lalu Allah menyelamatkan kalian darinya” (QS. Ali ‘Imran : 103)
Ukhuwah atau yang sering disebut orang dengan persaudaraan, ialah suatu ikatan yang terbentuk antara dua orang atau lebih yang didasari oleh rasa cinta diantara mereka.
Di tengah zaman yang penuh dengan fitnah ini nampaknya ukhuwah yang terbentuk karena cinta kepada Allah sepertinya mulai pudar. Sehingga orang-orang tidak saling berhubungan melainkan karena kepetingan materi belaka. Mereka saling mencintai dan membenci karena dunia. Tidaklah salah seorang dari mereka mendekati yang lain dengan wajah yang manis kecuali karena ada maunya. Tatkala kepentingan itu tidak tercapai, maka senyuman pun berubah menjadi raut masam.
Hal semacam ini tentunya sangat disayangkan karena persaudaraan adalah suatu kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya diatas (QS Ali ‘Imran : 103). Dalam ayat tersebut Allah menyebutkan nikmat yang telah Ia berikan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu menyatukan hati-hati mereka dan menjadikan mereka bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa nikmat yang sangat agung ini, yaitu ukhuwwah, semestinya hanya dilandasi karena Allah semata.
Seorang muslim harus menyadari bahwa persaudaraan dan rasa cinta diantara sesama orang beriman yang dilandasi karena Allah merupakan suatu nikmat yang sangat agung dari Allah. Maka hendaknya senantiasa dijaga dan dipelihara.
Dalam menafsirkan firman Allah,
بِنِعْمَتِهِ
“karena nikmat-Nya” (QS. Ali ‘Imran : 105)
sebagian ulama berkata, “Ini adalah peringatan bahwasanya terjalinnya tali persaudaraan dan terjalinnya cinta kasih diantara kaum mukminin hanyalah disebabkan karunia Allah semata, sebagaimana dijelaskan dalam ayat yang lain:
وْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ
“Walaupun engkau membelanjakan semua (kekayaan) yang ada di bumi niscaya engkau tidak bisa mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang telah mempersatukan hati mereka” (QS. Al Anfal : 63)
Maka yang menjadikan hati-hati manusia bersatu dalam ibadah kepada Allah, sekaligus saling mencintai, padahal mereka berasal dari berbagai penjuru dunia, dari ras yang beraneka ragam, serta dari martabat yang bertingkat-tingkat, hanyalah Allah semata, dengan nikmat-Nya yang tiada bandingnya. Ini adalah nikmat yang selayaknya seorang muslim bergembira dengannya. Allah berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya’, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat Allah itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus : 58)
Maka saling berwala (sikap loyalitas diantara kaum mukminin) merupakan ikatan yang terjalin antara seorang mukmin dengan mukmin yang lain, antara seorang muslim dengan muslim yang lain. Hal ini (loyalitas tersebut) memiliki tingkatan-tingkatan berdasarkan tingkat hubungan diantara mereka, berdasarkan tingkat kasih sayang antara seseorang dengan saudaranya.
Hak-hak persaudaraan ini banyak macamnya, dan kami hanya menyebutkan sebagian saja.
Hak pertama: Hendaknya seorang mukmin tidak mencintai saudaranya kecuali karena Allah, bukan karena kepentingan dunia.
Ini adalah bentuk keikhlasan dalam ibadah tersebut (yaitu persahabatan dengan saudaranya). Seorang mukmin tidak akan merasakan manisnya iman sampai dia mencintai dan membenci segala sesuatu karena Allah, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
”Tiga perkara yang jika terdapat pada diri seorang maka ia akan merasakan manisnya iman : (1) Jika Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya. (2) Ia mencintai seseorang yang mana tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana ia benci untuk dilempar ke dalam Neraka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jika tiga perkara ini terkumpul pada diri seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman. Diantara tiga perkara tersebut adalah tidaklah ia mencintai seseorang melainkan karena Allah. Karena itu, perkara yang penting bukanlah sekedar engkau mencintai saudaramu, tetapi yang penting dalam ibadah, melaksanakan perintah Allah ini hendaknya kecintaanmu kepada sahabat karibmu, kepada saudaramu, adalah karena Allah bukan karena faktor dunia.
Jika engkau mencintai saudaramu maka hendaknya karena apa yang terdapat dalam hati saudaramu, berupa tauhid, pengagungan terhadap Allah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta amalannya yang sesuai dengan sunnah. Inilah hakekat dari kecintaan karena Allah, yang merupakan hak ukhuwwah yang pertama.
Diantara buah yang manis dari hasil persahabatan karena Allah adalah persahabatan itu akan langgeng. Adapun persahabatan dan persaudaraan yang tidak didasari karena Allah, maka akan pudar dan sirna. Hal ini bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kita bisa melihat relasi diantara manusia, hubungan mereka dengan saudara mereka yang seiman, hubungan mereka dengan ulama, dengan penuntut ilmu, dengan sebagian saudara mereka yang memiliki harta, memiliki perniagaan, atau memiliki kedudukan, atau terpandang, jika seseorang bersahabat dan bersaudara dengan mereka bukan karena Allah, namun karena memperoleh kepentingan dunia maka ketika ia sudah memperoleh kepentingannya, akan terputuslah tali persaudaraannya tersebut. Bahkan dia tidak berterima kasih terhadap saudaranya, tidak menghubunginya lagi, bahkan lebih dari itu. Semoga Allah melindungi kita dari sifat seperti ini.
(Muraja’ah ceramah dari Syaikh Shalih bin ‘Abdil ‘Aziz Ali Syaikh hafizhahullah, Menteri Agama Kerajaan Arab Saudi , diterjemahkan oleh : Ustadz Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja)
Bersambung, insya Allah…
Ditulis oleh :
Gani Asmoro
Santri Ma’had Al ‘Ilmi tahun ajaran 1434/1435