Hak keempat: Jauhi perdebatan serta ucapkan perkataan yang paling baik
Di antara hak-hak ukhuwwah adalah engkau jauhi perdebatan dengan saudaramu, karena perdebatan memudarkan rasa cinta dan menyebabkan sirnanya persahabatan, merusak persahabatan yang telah lama terjalin, dan menimbulkan kebencian, permusuhan serta terputusnya hubungan diantara manusia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَرَكَ الكَذِبَ وَهُوَ بَاطِلٌ بُنِيَ لَهُ فِي رَبَضِ الجَنَّةِ، وَمَنْ تَرَكَ المِرَاءَ وَهُوَ مُحِقٌّ بُنِيَ لَهُ فِي وَسَطِهَا، وَمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ بُنِيَ لَهُ فِي أَعْلَاهَا
“Barangsiapa yang meninggalkan dusta (dalam debat) sementara dia berada diatas kebatilan, maka akan dibangunkan baginya istana di pinggiran Surga. Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka akan dibangunkan baginya istana di tengah Surga. Dan barangsiapa yang membaguskan akhlaknya maka akan dibangunkan baginya istana di puncak surga.” (HR. Ibnu Majah (51), serta Tirmidzi (1993), dan beliau berkata, “hadits hasan“)[1]
Karena itu, meninggalkan perdebatan adalah perkara yang terpuji sekaligus merupakan hak seorang muslim atas saudaranya. Dia tidak mengantarkan saudaranya untuk berdebat dengannya, serta tidak mengulurnya dalam bantah-bantahan dan membiarkannya mengeraskan suaranya, sehingga terputuslah tali persaudaraan dan timbullah perang mulut antara mereka. Meskipun tidak timbul perang mulut, maka akan timbul benih permusuhan dalam hatinya, dia akan menuduh bahwa saudaranya itu menghendaki sesuatu sehingga menyelisihinya, berpendapat ini dan itu, atau tidak menghargainya, dan seterusnya.
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
“Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik.” Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka, sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagi manusia” (QS. Al Israa’ : 53)
Firman Allah: “Dan katakanlah pada hamba-hamba-Ku “Hendaknya mereka mengucapkan perkatan yang paling baik”, ini termasuk berbuat kebajikan dengan perkataan yang baik kepada saudara, yaitu tatkala engkau bermu’amalah dengan saudara-saudaramu sesama muslim, atau dengan sahabat karibmu, atau dengan kaum muslimin pada umumnya, hendaknya engkau memilih lafazh yang baik. Namun, apa itu sudah cukup?
Belum cukup. Bahkan hendaknya engkau memilih lafazh atau perkataan yang terbaik, karena Allah memerintahkan hal itu. Diantara wujud dari perkataan yang baik kepada saudara kita adalah berterima kasih atas kebaikannya dan mu’amalahnya yang baik, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يشكر الله من لا يشكر الناس
“Tidaklah bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia” (Ash Shahiihah, no. 416)
Begitu juga sabda beliau,
ومن أتى إليكم معروفا فكافئوه
“Barangsiapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah dengan yang setara” (Ash Shahiihah, no. 254)
Jika engkau tidak mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk membalasnya, maka balaslah dengan kebaikan, yaitu engkau mendo’akannya dan berterimakasih kepadanya. Ini merupakan hak seorang saudara atas saudaranya yang lain. Diantara manusia ada yang hanya tahu mengambil, menerima, dan menerima, tanpa membalas kebaikan tersebut, tidak juga memuji, bahkan tidak pula mengingat kebaikan yang telah ia terima dari saudaranya.
Jika memang engkau tidak mampu untuk berterima kasih kepada saudaramu dengan perkataan maka tulislah ucapan terima kasihmu di surat, dengan kertas, dengan secuil kertas, karena hal ini akan memberikan pengaruh dan motivasi untuk mendatangi pintu-pintu kebaikan.
Diriwayatkan dari ‘Ali bahwa ia berkata, “Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niat baiknya maka ia tidak akan memuji perbuatan baik saudaranya itu.” (Abul Barakat menukil atsar ini dalam risalahnya Adabul ‘Isyrah wa Dzikrush Shuhbah wal Ukhuwwah, hal 21)
Ini merupakan martabat yang tinggi. Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niatnya yang baik maka dia tidak akan memuji saudaranya itu atas perbuatannya yang baik. Sebab, tatkala saudaramu berbuat baik kepadamu maka sejak awal ia telah membaguskan niatnya kepadamu dan bermu’amalah denganmu karena menghendaki kebaikan. Terkadang ia sudah berbuat baik kepadamu, atau ingin berbuat baik kepadamu namun ia tidak sempat, maka hendaknya engkau berterimakasih kepadanya meskipun hanya karena niat baik yang ada pada hatinya. Hal ini akan menjalin tali persaudaraan dan memotivasinya untuk berbuat kebajikan. Masing-masing akan berbuat baik kepada selainnya.
Barangsiapa yang tidak memuji saudaranya atas niatnya yang baik maka dia tidak akan memuji saudaranya itu atas perbuatannya yang baik. Artinya, sekiranya saudaranya tadi berbuat baik padanya maka mungkin saja dia tidak akan memuji saudaranya tersebut.
Bersambung, insya Allah…
Ditulis oleh :
Gani Asmoro
Santri Ma’had Al ‘Ilmi tahun ajaran 1434/1435
[1] Hadits dengan lafazh di atas diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari jalan Salamah bin Wardan, dari Anas bin Malik. Ibnu Hajar menilai Salamah bin Wardan adalah rawi yang dha’if (Taqribut Tahdzib, hal. 260).
Oleh karena itu, Al Albani menilai hadits dengan lafazh di atas munkar (Silsilah Adh Dha’ifah no. 1056) karena menyelisihi riwayat Abu Umamah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا، وَبِبَيْتٍ فِي وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَإِنْ كَانَ مَازِحًا وَبِبَيْتٍ فِي أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku menjamin rumah di pinggir surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia di atas kebenaran. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun sedang bercanda. Aku juga menjamin rumah di puncak surga bagi orang yang memperbagus budi pekertinya” (HR. Abu Dawud. Dinilai hasan oleh Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, no. 273)