Segala puji dan syukur kepada Allah yang telah memberikan beragam nikmat dan hidayah untuk seluruh hamba-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia tidak luput dari berbagai kewajiban, baik kepada Rabb, kepada sesama manusia, makhluk lainnya, bahkan pada dirinya sendiri. Juga amalan-amalan sunnah yang dapat bernilai pahala jika dikerjakan. Namun, apakah selama ini amalan tersebut telah diterima?
Sebelumnya, perlu diketahui syarat diterimanya suatu amalan ada dua, yakni ikhlas dan ittiba’ (sesuai petunjuk Rasulullah). Apabila dua syarat ini tidak terpenuhi atau hanya terpenuhi salah satunya, maka amal tersebut tidak akan diterima.
Ikhlas artinya menjadikan Allah Ta’ala sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan.[1] Perkara ini tidaklah semudah yang dibayangkan, karena perkara ini termasuk amalan hati yang tidak nampak. Sehingga seringkali ada penyakit-penyakit yang menjangkiti namun tidak dapat dirasakan, salah satunya adalah riya’.
Definisi Riya’
Secara bahasa, riya’ berasal dari kata ru-yah, maknanya penglihatan. Sehingga, menurut bahasa arab, hakikat riya’ adalah orang lain melihatnya tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya.[2]Sedangkan secara istilah, riya’ adalah memperlihatkan amal kepada orang lain agar mendapatkan pujian. Dan termasuk ke dalam riya’ juga adalah memperdengarkan amal kepada orang lain agar mendapat pujian (sum’ah).[3]
Riya’ ini termasuk ke dalam kategori syirik asghar[4] (kecil), karena dalam melakukan amal ibadah seorang hamba tidak memurnikannya kepada Allah Ta’ala, namun juga mengharap pujian dari manusia. Sehingga konsekuensi riya’ ini tidaklah ringan.
Adapula yang sering salah mengartikan riya’. Mereka berhenti tidak melakukan suatu amal di hadapan manusia karena takut menjadi riya’. Padahal, jika amal tersebut memang sering mereka kerjakan, maka bukan termasuk riya’. Dan apabila mereka hanya mengerjakan amal karena ada orang lain itu disebut syirik. Seperti yang diungkapkan oleh Fudhail bin ‘Iyadh, “Meninggalkan suatu amal karena orang lain adalah riya’. Sedangkan beramal karena orang lain adalah syirik. Adapun ikhlas adalah ketika Allah Ta’ala menyelamatkanmu dari keduanya.” [5]
Fenomena Riya’
Riya’ tidak mengenal siapapun atau apapun status seseorang. Bahkan lebih sering menjangkiti orang-orang yang berilmu. Seseorang yang suka beramal dan terlihat baik di mata orang sangat rentan akan riya’. Sebab perkara ini sangat samar hingga orang pun tidak merasakannya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشِّرْكُ فِيكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ
“Kesyirikan itu lebih samar dari langkah kaki semut.”
Lalu Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah kesyirikan itu ialah menyembah selain Allah atau berdoa kepada selain Allah disamping berdoa kepada selain Allah?”
Maka beliau bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا صِدِّيقُ، الشِّرْكُ فِيكُمْ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ
”Bagaimana engkau ini? Kesyirikan pada kalian lebih samar dari langkah kaki semut.” (HR. Abu Ya’la Al Mushili dalam Musnad-nya, dinilai shahih Al Albani dalam Shahih At Targhib, 1/91)[6]
Lihatlah pada hadist tersebut bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kesamaran riya’. Seorang penuntut ilmu yang giat, ustadz-ustadz yang shalih, serta muslimah berjilbab lebar dan bercadar tidaklah luput dari penyakit ini. Penyakit ini sangat samar hingga banyak orang terjerumus ke dalamnya tanpa mengetahui dirinya telah berkubang di dalamnya. Maka, sangat bijaksana jika kita benar-benar memperhatikan masalah riya’ ini.
Beberapa contoh manusia yang bisa terjangkiti riya’ di atas adalah orang-orang yang mengerti bagaimana suatu amal bisa diterima. Dan mereka memahami petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengamalkan suatu ibadah. Maka syarat ittiba’ sudah dapat dipenuhi. Namun, dalam perkara mensucikan niat hanya untuk Allah Ta’ala benar-benar tidak ada yang bisa menjamin. Bahkan para ulama terdahulu tidak pernah mensucikan diri mereka dan mengatakan bahwa telah dapat mengikhlaskan semua ketaatan hanya kepada Allah Ta’ala.
Beberapa Kisah Tentang Riya’
Kisah pertama, ada seorang yang selalu menunaikan shalat di shaf pertama. Suatu ketika ia terlambat, dan ia shalat di shaf kedua. Lalu ia diliputi rasa malu karena dilihat oleh orang banyak. Dari sini ia tahu, bahwa ketenangan hatinya dalam melaksanakan shalat di shaf pertama selama ini disebabkan oleh pandangan orang-orang kepadanya.[7]
Kisah kedua, diceritakan dalam sebuah hadist yang panjang,
إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لِأَنْ يُقَالَ: جَرِيءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
“Sesungguhnya manusia paling pertama yang akan dihisab urusannya pada hari kiamat adalah : Seorang lelaki yang mati syahid, dia didatangkan lalu Allah mengingatkan nikmat-nikmat-Nya (yang telah diberikan kepadanya-pen,) maka diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat dengan nikmat-nikmat tersebut?” Dia menjawab, “Aku berperang di jalan-Mu sampai aku mati syahid.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu berperang agar kamu dikatakan pemberani dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka.
وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ، وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ، وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ، وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ: هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Dan (orang kedua adalah) seseorang yang mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan dia membaca (menghafal) Al-Qur`an. Maka dia didatangkan lalu Allah mengingatkan nikmat-nikmat–Nya (yang telah diberikan kepadanya-pen) maka diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?” Dia menjawab, “Aku mempelajari ilmu (agama), mengajarkannya, dan aku membaca Al-Qur`an karena-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu menuntut ilmu agar kamu dikatakan seorang alim dan kamu membaca Al-Qur`an agar dikatakan, “Dia adalah qari`,” dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka.
وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ، وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلَّا أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ، ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ
Dan (yang ketiga adalah) seseorang yang diberikan keluasan (harta) oleh Allah dan Dia memberikan kepadanya semua jenis harta. Maka dia didatangkan lalu Allah mengingatkan nikmat-nikmat–Nya (yang telah diberikan kepadanya-pen), maka diapun mengakuinya. Allah berfirman, “Lalu apa yang kamu perbuat padanya?” Dia menjawab, “Aku tidak menyisakan satu jalanpun yang Engkau senang kalau seseorang berinfak di situ kecuali aku berinfak di situ untuk-Mu.” Allah berfirman, “Kamu berdusta, akan tetapi sebenarnya kamu melakukan itu agar dikatakan, “Dia adalah orang yang dermawan,” dan kamu telah dikatakan seperti itu (di dunia).” Kemudian diperintahkan agar dia diseret di atas wajahnya sampai dia dilemparkan masuk ke dalam neraka.” (HR. Muslim mo. 1905)[8]
Dari dua kisah di atas cukuplah bagi kita untuk memahami betapa riya’ adalah perkara samar yang hanya diketahui oleh Allah Yang Maha Mengetahui, bahkan tidak disadari pelakunya sendiri. Dan cukup bagi kita untuk berhati-hati dalam perkara ini.
Terapi Mengobati Riya’
Kebanyakan orang terlena pada amalan zhahir (yang nampak) dan lupa untuk merealisasikan bentuk ikhlas yang sesungguhnya. Untuk mengobati riya’ berarti benar-benar harus menjadi mukhlis sejati(orang yang ikhlas). Beberapa hal yang dapat menimbulkan keikhlasan adalah:
- Berdo’a
- Menyembunyikan amal
- Memperhatikan amalan mereka yang lebih baik
- Memandang remeh apa yang telah diamalkan
- Khawatir kalau-kalau amalnya tidak diterima
- Tidak terpengaruh dengan ucapan orang
- Senantiasa ingat bahwa surga dan neraka bukan milik manusia
- Ingatlah bahwa Anda akan berada dalam kubur sendirian. [9]
Demikianlah sedikit renungan mengenai riya’. Semoga dapat menjadikan kita hamba yang mukhlis dalam beramal dan setiap amalan kita dapat menjadi penolong nasib kita di hari akhir kelak dan bukan menjadi bumerang untuk kita nantinya.
Alhamdulillahi alladzi bi ni’matihi tatimmus shaalihat.
Ditulis oleh :
Ummu Ihsan
Santri Ma’had Al ‘Ilmi tahun ajaran 1434/1435
[1] Tazkiyatun Nafs Konsep Penyucian Menurut Ulama Salafushalih oleh Ibnu Rajab al-Hambali, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Imam al-Ghazali. Terj. oleh Imtihan as-Syafi’i
[2] Ketika Kita Ingin Dilihat oleh Ummu Aiman. Artikel di www.muslimah.or.id
[3] Mutiara Faidah Kitab Tauhid oleh Abu Isa Abdullah bin Salam
[4]Hukum asalnya demikian. Namun bisa berubah menjadi syirik akbar dalam kondisi tertentu. Contohnya, riya’ dalam pokok keimanan
[5] Tazkiyatun Nafs Konsep Penyucian Menurut Ulama Salafushalih oleh Ibnu Rajab al-Hambali, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Imam al-Ghazali. Terj. oleh Imtihan as-Syafi’i
[6] Ketika Kita Ingin Dilihat oleh Ummu Aiman. Artikel di www.muslimah.or.id
[7] Tazkiyatun Nafs Konsep Penyucian Menurut Ulama Salafushalih oleh Ibnu Rajab al-Hambali, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan Imam al-Ghazali. Terj. oleh Imtihan as-Syafi’i
[8] Berjihad Melawan Riyaa’ oleh Firanda Andirja. Note di www.facebook.com/firanda.andirja
[9] Bagaimana Aku Menjadi Orang yang Mukhlis dalam Setiap Amalku diambil dari Langkah Pasti Menuju Bahagia karya Dr. Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qasim. Artikel di www.muslimah.or.id