Skip to content

Tiga Pilar Ibadah

Ibadah adalah tujuan utama diciptakannya jin dan manusia. Allah Azza wa Jalla berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS. Adz Dzariyat : 56)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan tentang ibadah bahwa, “Dalam ibadah itu terkandung mengenal, mencintai, dan tunduk kepada Allah. Bahkan dalam ibadah terkandung segala yang Allah cintai dan ridhoi. Titik sentral dan yang paling urgent dalam segala yang ada adalah di hati yaitu berupa keimanan, mengenal dan mencintai Allah, takut dan bertaubat pada-Nya, bertawakkal pada-Nya, serta ridho terhadap hukum-Nya. Di antara bentuk ibadah adalah shalat, dzikir, do’a, dan membaca Al Qur’an.” [1]

Sebagai seorang hamba yang memiliki tugas dalam beribadah kepada Allah, hendaknya kita mengetahui tiga pilar ibadah yang menjadi landasan ibadah yang kita lakukan. Tiga pilar ibadah tersebut adalah hubb (cinta), khauf (takut), dan raja’ (harapan). Ketiganya harus terkumpul seluruhnya dalam diri setiap muslim dikarenakan ibadah seseorang tidak akan benar dan sempurna melainkan dengan tegaknya ketiga pilar tersebut.

  1. 1.      Cinta

Cinta kepada Allah menempati tingkatan paling utama dan paling pokok bagi seorang muslim. Kedudukan cinta kepada Allah adalah kedudukan cinta paling agung dan paling mulia dalam kehidupan manusia. Kecintaan seorang hamba kepada Allah akan membawa dampak yang sangat agung pula yaitu berupa kecintaan Allah kepada hamba-Nya.

Allah Ta’ala berfirman

 يُحِبُّهُمْ  وَيُحِبُّونَهُ

“… Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya …” (QS. Al Ma’idah : 54).

Perasaan cinta seseorang kepada Allah tidaklah akan bermanfaat jika rasa cinta tersebut hanya ada pada lisannya semata. Sebagai seorang hamba yang mengaku cinta kepada Allah hendaknya ia membuktikan cintanya dengan perilakunya. Adapun bukti paling nyata cinta seorang hamba kepada Allah yaitu berupa ketaatan terhadap segala perintah-Nya, ikhlas dalam menjalankan perintah tersebut, dan senantiasa berusaha melaksanakan dengan sebaik mungkin. Oleh karena itu, orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah senantiasa bersungguh-sungguh untuk mentaati Allah disebabkan kecintaan mereka kepada Allah yang teramat sangat. Allah Ta’ala berfirman,

 وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah” (QS. Al Baqarah : 165)

Bentuk ketaatan kepada Allah juga dibuktikan dengan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad): “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran : 31)

Ayat di atas merupakan pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah namun tidak menempuh jalan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang mengaku cinta Allah tetapi tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pembohong sampai dia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. [2]

  1. 2.      Takut

Pilar ibadah yang kedua adalah rasa takut (khauf). Rasa takut (khauf) adalah cambuk Allah yang dapat memicu hamba kepada ilmu dan amal agar dekat dengan Allah. Perasaan khauf yang lemah akan mendorong seseorang untuk lalai dan berani mengerjakan dosa, sedangkan berlebihan dalam khauf akan menyebabkan kelemahan semangat dan keputusasaan.

Imam Ahmad dan At Tirmidzi meriwayakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, ”Aku pernah bertanya, ”Wahai Rasulullah, tentang firman Allah,’Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut’, apakah dia itu orang yang berzina, minum khamr, dan mencuri?”

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjawab, “Bukan wahai putri Ash Shiddiq, tetapi dia orang yang puasa, shalat, dan mengeluarkan shadaqah, sedang dia takut amalnya tidak diterima”

Al Hasan berkata ,”Demi Allah, mereka itu adalah orang-orang yang melakukan berbagai macam ketaatan dan berusaha untuk itu, sedang mereka takut amalnya tertolak. Sesungguhnya orang mukmin itu menghimpun kebajikan dan ketakutan, sedangkan orang munafik menghimpun kejahatan dan rasa aman.” [3]

Allah memerintahkan manusia agar selalu memiliki rasa takut  (khauf) dan menjadikannya sebagai salah satu syarat iman. Allah Ta’ala berfirman,

وَخَافُونِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman” (QS. Ali ‘Imran : 175)

Oleh karena itu, seorang mukmin tidak mungkin terlepas dari rasa takut (khauf) meskipun masih lemah. Adapun kelemahan rasa khauf­-nya akan bergantung pada kelemahan imannya.

  1. 3.      Harapan

Keberadaan rasa harap (raja’) dalam ibadah akan menumbuhkan rasa optimis bagi seorang hamba karena hamba berharap agar amalnya diterima, berharap agar dimasukkan ke dalam surga, berharap agar dosanya diampuni, berharap agar mendapatkan ridha dan pahala dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “  (QS. Az Zumar : 53)

Rasa harap (raja’) berbeda dengan angan-angan (tamanny) yang disertai dengan kemalasan dimana pelakunya tidak pernah berusaha dan bersungguh-sungguh. Adapun rasa harap adalah perasaan yang disertai dengan usaha dan tawakkal kepada Allah. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa raja’ tidaklah sah kecuali disertai dengan adanya usaha.[4]

 

Ditulis oleh :

Al Faqir ilallah,

Ahmad Fathan Hidayatullah, S.T.

Santri Ma’had Al ‘Ilmi tahun ajaran 1434/1435



[1] Majmu’ Al Fatawa, 32/232

[2] Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2, hal 35

[3] Madarijus Salikin, hal. 130

[4] Madarijus Salikin, hal. 159

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *