Jawami’ul kalim adalah sebuah kalimat yang ringkas, tapi mempunyai makna yang luas. Inilah keutamaan yang dimiliki oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau sangat fasih di dalam menyampaikan sesuatu. Kefasihan ketika menyampaikan kalimat sangat berpengaruh bagi orang yang diajak bicara. Semakin fasih sebuah kalimat, semakin mudah untuk dipahami dan diingat. Inilah salah satu kelebihan yang diberikan Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الكَلِمِ
“Aku diutus dengan Al Jawami’ul Kalim” (HR. Bukhari)
Inilah salah satu contoh akhlak nabi yang mulia. Beliau adalah orang yang tidak berbicara, kecuali pembicaraannya tersebut adalah kebaikan dan bermanfaat untuk orang lain. Sampai-sampai perkataan beliau yang sedikitpun, mengandung hikmah dan pelajaran yang sangat banyak.
Berbeda dengan sebagian orang di zaman ini. Alangkah mudahnya mereka berbicara kejelekan, alangkah mudahnya mereka mencela dan menjatuhkan kehormatan saudaranya. Bersamaan dengan itu, alangkah sedikitnya hikmah yang bisa dipetik dari perkataannya tersebut. Bahkan tidak jarang kita dengarkan perkataan yang sesat dan menyesatkan.
Menjaga Lisan
Maka, begitu pentingnya menjaga lisan. Marilah kita melatih diri kita ini untuk sedikit berbicara namun banyak faidahnya, sebagaimana yang diajarkan dan dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Syafi’i rahimahullahu menjelaskan, “Makna hadist ini adalah hendaknya kita berpikir sebelum berbicara. Jika nampak bahwa ucapan tersebut tidak mengandung bahaya, maka berbicaralah. Dan jika nampak bahwa ucapan tersebut mengandung bahaya atau ragu apakah mengandung bahaya atau tidak, maka diamlah” (Fathul Qowiy Al Matin fi syarh al arba’in wa tatimmatul khomsiin, Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al ‘Abbaad Al Badr, hal 62)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Segala sesuatu akan bermanfaat dengan kadar lebihnya, kecuali perkataan. Sesungguhnya berlebihnya perkataan akan membahayakan”
Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada kebaikan dalam hidup ini kecuali salah satu dari dua orang : orang yang diam namun berpikir atau orang yang berbicara dengan ilmu”
Al Fudhail rahimahullahu berkata, “Dua perkara yang akan bisa mengeraskan hati seseorang adalah banyak berbicara dan banyak makan”
Abu Hatim rahimahullahu berkata, “Lisan orang yang berakal berada di belakang hatinya. Bila dia ingin berbicara, dia mengembalikan ke hatinya terlebih dulu. Jika terdapat maslahat baginya maka dia akan berbicara. Bila tidak ada maslahat dia tidak berbicara. Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di ujung lisannya sehingga apa saja yang menyentuh lisannya membuat dia akan cepat berbicara. Seseorang tidak dianggap mengetahui agamanya hingga dia mengetahui lisannya.” (Raudhatul ‘Uqala wa Nuzhatul Fudhala karya Abu Hatim Muhammad bin Hibban Al Busti, halaman. 37-42, dikutip dari website assyariah.com artikel “Lidah tak bertulang”)
Macam-macam Dalalah (metode penyimpulan makna)
Dalalah atau penyimpulan makna dari Al Qur’an dan As Sunnah ada 3 macam, yaitu :
1. Dalalah muthobaqoh
Adalah penggunaan lafadz suatu dalil untuk seluruh maknanya.
Contohnya adalah kata rumah jika digunakan untuk seluruh makna rumah beserta seluruh unsur penyusunnya.
2. Dalalah tadhommun
Adalah penggunaan lafadz suatu dalil untuk sebagian maknanya.
Contohnya adalah kata rumah jika digunakan untuk sebagian makna rumah, misalnya jika dikatakan ‘rumah’, maka kita dapat mengambil kesimpulan di dalamnya ada ruang tamu, ruang keluarga, tempat tidur, atap, dan seterusnya.
3. Dalalah iltizam
Adalah penggunaan lafadz suatu dalil untuk konsekuensi maknanya (diluar makna tersebut), atau yang menyempurnakan maknanya atau yang menjadi syarat-syaratnya.
Contohnya adalah kata rumah jika digunakan untuk konsekuensi atau penyempurna makna rumah, misalnya jika dikatakan ‘rumah’, maka kita dapat mengambil kesimpulan pasti ada yang membuatnya, ada yang merancangnya, ada yang memilikinya, dan seterusnya.
Contoh pendalilan, jika kita membaca ayat :
وأقيموا الصّلاة
“Dan tegakkanlah sholat”
Dalalah mutobaqohnya : Maka bisa diambil kesimpulan bahwa kita harus benar-benar menegakkan sholat kita dari awal sampai akhir. Makna menegakkan sholat yaitu menunaikannya dengan segenap rukun dan syaratnya serta amalan-amalan sunnah dalam shalat yang merupakan penyempurnanya.
Dalalah tadzommunnya : Maka bisa diambil kesimpulan bahwa kita harus benar-benar menegakkan ruku’ kita, sujud kita, dan rukun-rukun yang lainnya,
Dalalah iltizamnya : Maka perintah tersebut berkonsekuensi perintah untuk menutup aurat saat sholat, bersuci, dan menghadap kiblat. Karena hal itu termasuk syarat-syarat sah sholat, yaitu faktor di luar sholat yang menyebabkan sholatnya tersebut sah. Jika tidak ada syarat-syaratnya, maka sholat itu tidak ada atau tidak sah.
Maka siapa yang mengetahui ketiga dalalah ini dan dapat menggunakannya, maka dia akan dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan dari suatu dalil. Banyaknya kesimpulan yang dapat diambil sebanding dengan pengetahuannya dan kemampuannya untuk menggunakan ketiga dalalah ini. Maka tidak heran jika kita menjumpai para ulama yang mensyarah 1 hadist saja, menjadi banyak faidah penting yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita ketika melihat dhohir hadistnya.
(Lihat Jam’ul Mahsuul fi syarh risalati Ibni Sa’di fil Ushul, karya ‘Abdullah bin Shalih Al Fauzan halaman 49-50 dengan berbagai penambahan).
Contoh Penerapan
Contoh Al Jawami’ul Kalim adalah hadist yang terdapat di dalam kitab Rassyul Barrod Syarh Adabul Mufrad lil Imam Bukhari karya Syaikh Muhammad Luqman As Salafy. Pada bab ke 375, yaitu bab kunyah untuk anak kecil, hadist nomor 847.
حدّثنا موسى بن إسماعيل حدّثنا حمّاد بن سلمة عن ثابت عن أنس قال : كان النّبيّ الله صلى الله عليه و سلّم يدخل علينا ولي أخ صغير يكنّى :أبا عمير وكان له نغر يلعب به, فمات فدخل النّبيّ صلى الله عليه و سلّم فرآه حزينا, فقال : ما شأنه ؟
. قيل له : مات نغره. فقال : يا أبا أمير ما فعل النّغير
Dari Musa bin Isma’il, dari Hammad bin Salamah, dari Tsabit dari Anas bin Malik, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkunjung ke rumahku, dan aku punya saudara yang masih kecil yang diberi kunyah Abu Umair. Dia punya burung kecil yang dia suka bermain dengannya. Tetapi burung tersebut mati. Maka Nabi menemui anak kecil tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya sedang bersedih. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Ada apa dengannya?”. Dikatakan kepada Nabi, ”Burung kecil peliharaannya mati”. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan oleh An Nughair (burung kecil)?” (HR. Bukhari).
Maka dalam sepotong kalimat dari hadist diatas dapat diambil beberapa faidah, antara lain :
- Bolehnya memberikan kunyah kepada seorang yang belum memiliki anak.
- Bolehnya seorang yang belum menikah – bahkan – anak kecil memiliki kunyah. [Catatan : pemberian kunyah tersebut tidaklah termasuk dusta, tetapi bermakna harapan kepada yang punya kunyah untuk memiliki anak].
- Bolehnya bercanda asalkan tidak mengandung kedustaan dan dosa.
- Bolehnya memelihara burung di dalam sangkar atau selainnya, asal dipenuhi kebutuhannya.
- Bolehnya men-tashgir nama, walaupun nama hewan sekalipun.
- Bolehnya bersajak dalam ucapan, selama tidak dipaksakan.
- Menunjukkan tawadhu’nya nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai-sampai kepada anak kecil sekalipun.
- Pengeluaran orang tua untuk membelikan mainan anak, tidak terhitung menghamburkan harta, selama tidak berlebihan.
- Perintah untuk menghibur orang yang bersedih.
- Perintah untuk menyayangi dan berlemah lembut kepada anak kecil.
(Lihat Rassyul Barod syarh Adabul Mufrad, karya Muhammad Luqman as Salafy halaman 450, dengan penambahan faidah)
Ditulis oleh :
Ferdiansyah Aryanto, S.T.
Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta tahun ajaran 1431-1433