Allah Yang Maha Tinggi Turun ke Langit Dunia

Pembaca yang yang dirahmati Allah, salah satu keimanan yang wajib diimani oleh setiap muslim yaitu bahwasanya Allah Ta’ala turun ke langit dunia. Berikut pembahasan ringkas tentang masalah ini.

Dalil Tentang Turun-Nya Allah Ta’ala

Penetapan aqidah ini diterangkan oleh banyak hadist dari Rasulullah shalallhu ‘alaihi wa sallam yang mencapai derajat mutawatir (melalui jalur yang banyak). Di antaranya adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ

مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ

 “ Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam pada sepertiga malam yang terakhir, kemudian berfirman : “ Barang siapa berdoa kepada-Ku akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku akan Aku beri, barang siapa memohon ampun kepadaku akan Aku ampuni” (HR. Bukhari: 1145 dan Muslim: 758.). Hadist ini secara jelas  dan gamblang menunjukkan penetapan sifat nuzul (turunnya) Allah ke langit dunia.

Allah Ta’ala Turun Secara Hakiki

Makna turunnya Allah dalam hadist ini adalah turun secara hakiki. Wajib bagi kita mengimaninya  dan membenarkannya. Allah turun ke langit dunia yang merupakan langit yang paling dekat dengan dunia. Turunnya Allah adalah sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya tidak seperti turunnya makhluk. Allah berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. (QS. Asy-Syura: 11).

Oleh karena itu kita menetapkan nuzul dari sisi makna dan bukan sisi kaifyah (cara turun). Kita menetapkannya tanpa tamsil (menyerupakan dengan sifat makhluk) dan turunnya Allah adalah sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.

Apakah Allah Turun dengan Dzatnya ataukah Tidak?

Muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlussunnah apakah dikatakan Allah turun dengan Dzat-Nya ataukah tidak? Mereka berselisih dalam tiga pendapat :

  1. Di antara mereka berpendapat Allah turun dengan Dzat-Nya. Kita perlu mengatakannya agar hal ini tidak disalahpahami bahwa yang turun adalah amrullah (urusan/perintah Allah) atau rahmat Allah seperti perkataan ahlu ta’thil (kelompok yang menolak nama dan sifat Allah).
  2. Di antara mereka   berpendapat tidak mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya dan menolak perkataan tersebut. Menurut mereka perkataan Allah turun dengan Dzat-Nya ke langit dunia adalah batil dan tertolak.
  3. Di antara mereka mengatakan tidak memutlakkan kedua-duanya, mereka tidak menetapkan dan juga tidak menolak perkataan tersebut.

Di antara tiga pendapat di atas  pendapat ketigalah yang benar – wallahu a’lam-. Karena kaedah yang benar berdasarkan sunnah adalah kita tidak melampaui al Quran dan al Hadist. Dalam sabda Nabi “Allah turun“ di dalamnya terdapat penetapan sifat turun (tidak disertai keterangan lainnya), maka kita tidak mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya dan juga tidak mengatakan tidak bolehnya mengatakan Allah turun dengan Dzat-Nya. Kita tidak menetapkannya dan tidak pula menolaknya .

Apakah ‘Arsy Allah Kosong ketika Allah Turun?

Telah kita ketahui bersama bahwasanya Allah Ta’ala istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya. Ketika Allah turun ke langit dunia, apakah ‘Arsy Allah kosong? Dalam hal ini para ulama juga berselisih menjadi tiga pendapat :

Pendapat pertama. Arsy Allah tidak kosong. Syaikhul Islam Ibnu Taimyah berkata dalam Risalah al ‘Arsiyyah : “ Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya kosong, karena dalil yang menunjukkan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy adalah dalil yang muhkam (dalil yang umum dan sudah jelas maknanya) , demikian pula hadist tentang turun-Nya Allah juga muhkam, dan sifat Allah tidaklah sama dengan sifat makhluk, maka wajib bagi kita membiarkan dalil istiwa’ dalam keumumannya dan dalil nuzul dalam keumumannya, dan kita katakan Allah istiwa’ di atas ‘ars-Nya dan Allah turun ke langit dunia. Allah lebih tahu tentang kaifiyah tersebut sementara akal kita terbatas untuk melliputi ilmu Allah Ta’ala

Pendapat kedua .Tawakuf. Mereka tidak mengatakan ‘arsy Allah kosong dan tidak pula mengatakan tidak kosong.

Pendapat ketiga. Turun-Nya Allah menjadikan ‘arsy-Nya kosong.

Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan : “ Tidak ada hak bagi kita berbicara apakah ketika Allah turun ‘Arsy-Nya kosong atau tidak kosong, hendaknya kita diam sebagaimana para sahabat radhiyallahu ‘anhum diam (tidak membahas) masalah ini.

Beberapa Kesalahan Makna Nuzul dan Bantahannya

Sudah menjadi kebiasaan ahlul bid’ah bahwasanya mereka akan menyelewengkan sifat-sifat Allah yang tidak mereka imani, termasuk sifat nuzul ini. Mereka menyelewengkan makna nuzul dan memaksudkan makna nuzul bukan dengan makna yang hakiki, di antaranya :

Pertama. Yang turun adalah amrullah (urusan/perintah Allah) yang Allah tetapkan. Ini adalah makna yang batil. Karena turunnya urusan Allah akan senantiasa ada pada setiap waktu, tidak khusus pada sepertiga malam terakhir saja . Allah Ta’ala berfirman :

يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ

Artinya : ” Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadanya(As Sajadah :5)

وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ

Artinya : “Dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya(Huud: 123)

Kedua. Yang turun adalah rahmat Allah Ta’ala ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Ini juga merupakan makna yang batil. Rahmat Allah tidak turun kecuali hanya pada waktu itu saja?! Ini sama saja dengan membatasi rahmat Allah.  Padahal Allah berfirman :

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ

Artinya : “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)(An Nahl : 53). Sedangkan seluruh nikmat Allah merupakan buah dari rahmat Allah dan itu turun pada setiap waktu. Selain itu jika yang turun adalah rahmat Allah, apa faedahnya dengan turunnya rahmat Allah hanya sampai ke langit dunia?!

Ketiga. Yang turun adalah malaikat Allah.  Ini juga makna yang batil. Jika yang turun adalah malaikat, apakah masuk akal jika malaikat berkata : “Barang siapa yang berdoa kepadaku akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepadaku akan Aku beri, barang siapa memohon ampun kepadaku akan Aku ampuni?”. Dengan ini jelaslah kebatilan perkataan mereka.

Inilah beberapa kesalahan makna nuzul yang diselewengkan oleh ahlul bid’ah. Padahal demi Allah, mereka tidaklah lebih mengetahui tentang Allah daripada Rasulullah, mereka juga tidaklah lebih baik niatnya terhadap umat manusia daripada Rasulullah, mereka juga tidaklah lebih fasih dalam perkataan mereka daripada Rasulullah. Dan pemahaman seperti itu tidak pernah ada dalam pemahaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

Menjawab Kerancuan

Jika ada yang mengatakan : “Mengapa engkau katakan Allah turun? Jika Allah turun, bagaimana dengan ke-Maha Tinggian Allah ? Jika Allah turun, bagaimana dengan istiwa’-Nya Allah di atas ‘arsy? Jika Allah turun, maka turun adalah bergerak dan berpindah!! Jika Allah turun, turun adalah haadist (sesuatu yang baru), dan sesuatu yang baru tidak terjadi kecuali dengan sesuatu yang baru pula?”

Kita katakan bahwa itu semua itu adalah anggapan yang batil. Dan itu semua tidak bertentangan dengan hakikat turun-Nya Allah. Apakah kalian lebih tahu tentang hakikat turun-Nya Allah  daripada sahabat Rasulullah?. Para sahabat tidak pernah mengatakan kemungkinan-kemungkinan seperti yang kalian katakan sama sekali. Mereka semua (para sahabat) mengatakan. : kami mendengar, kami beriman, kami menerima, dan kami membenarkan. Sedangkan ahlu ta’thil mereka memperdebatkan dengan perdebatan yang batil dengan bertanya mengapa begini, mengapa begitu. Cukuplah kita katakan Allah Ta’ala turun dan kita tidak memperdebatkan tentang apakah ‘arsy Allah kosong atau tidak. Adapun sifat ke-Maha Tinggian Allah, kita katakan bahwa Allah turun akan tetapi Allah tetap di atas para makhluk-Nya, karena bukanlah makna turun-Nya Allah diliputi dan dinaungi langit, karena tidak ada satu makhluk pun yang dapat meliputi Allah Ta’ala.

Lain lagi dengan pertanyaan orang-orang zaman sekarang. Mereka mempertentangkan masalah ini dengan pengetahuan bahwa bumi ini bulat. Mereka mengatakan bagaimana mungkin Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir? Sepertiga malam jika berpindah dari satu tempat akan terjadi di tempat di dekatnya dan seterusnya sesuai arah berputarnya bumi. Jika demikian, Allah akan selalu turun ke langit dunia  karena akan ada dalam setiap waktu bagian bumi yang mengalami sepertiga malam?

Kita katakan bahwa kita mengimani Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Jika kita sudah beriman dengan yakin, tidak ada lagi keraguan sedikit pun di balik keyakinan tersebut. Kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya bagaimana dan mengapa. Kewajiban kita beriman jika sepertiga malam terjadi di satu daerah, maka ketika itu pula Allah  turun, jika sepertiga malam terakhir terjadi di daerah lain, maka ketika itu pula Allah turun di daerah tersebut. Jika telah terbit fajar di daerah tersebut maka berakhir sudah waktu turun-Nya Allah di daerah tersebut.

Kesimpulan

Ahlus Sunnah menetapkan tentang turunnya Allah Ta’ala ke langit dunia setiap malam sebagaimana mereka menetapkan seluruh sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Kewajiban kita adalah beriman terhadap sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya tanpa menyelewengkan dari maknanya yang hakiki. Demikian pula sifat nuzul, wajib kita beriman bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia secara hakiki pada sepertiga malam terakhir. Pada saat turun, Allah akan mengabulkan orang yang berdoa, akan memberi orang yang meminta, dan akan mengampuni orang yang memohon ampun. Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa mencari waktu yang mulia ini untuk mendapatkan karunia Allah Ta’ala dan rahmat-Nya, melaksanakan ibadah kepada Allah dengan khusyu’, memohon ampunan kepada-Nya dan memohon kebaikan di dunia dan di akhirat. Tidak selayaknya seorang muslim melewatkan waktu yang sangat berharga ini. Inilah buah keimanan yang benar terhadap sifat turun-Nya Allah Ta’ala. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bisa memanfaatkan waktu yang mulia ini. Wallahu a’lam.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahibihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin

[dr. Adika Mianoki, staf pengajar Tahfidz Qur’an Ma’had Ilmi 2010-2012]

Sumber Rujukan

1.  Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah , Syaikh Sholeh Alu Syaikh

2. Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah , Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *