Belajar dari Perjuangan Mas Gani

Akhir Januari 2018, saat saya baru tiba di Kota Riyadh, di sebuah grup WA Keluarga Mahasiswa Indonesia KSU (KAMISA), tercantum tagline “Menunggu Petai Mas Gani.”

 

“Mas Gani ini siapa ya?,” terkaan dalam benak saya.

 

Obrolan mengalir santai. Anggota grup aktif memberikan komentarnya satu demi satu. Sementara saya, karena orang baru, hanya sekedar membaca dan memantau keadaan saja.

 

Rupanya, Mas Gani saat itu sedang pulang liburan ke Indonesia, dan beberapa pekan lagi akan tiba ke Riyadh. Sekalian nanti bawa petai dan sambalnya.

 

Mahasiswa yang tinggal di asrama, senang dengan keberadaan Mas Gani. Masakan yang dibikinnya selalu enak dan lezat. Kedatangannya ditunggu-tunggu, hingga kalimat “Menunggu Petai Mas Gani” jadi judul grup kala itu.

 

Setelah tiba di Riyadh, saya baru ngeh, ternyata Mas Gani yang dimaksud, adalah orang lama yang masuk memori. Dulu kita berada di almamater kampus yang sama: MEDIU.

 

Mas Gani kuliah di KSU pada program S2 jurusan Mikrobiologi. Sehari-harinya “angon” virus di laboratorium kampus.

 

Tahun 2019, beliau mengajak keluarga ke Riyadh. Istri dan 2 anaknya yang waktu itu masih kecil, diajak merantau ke ibukota Arab Saudi.

 

Dari Mas Gani, kita mahasiswa KSU banyak belajar, utamanya tentang tawakkal, sabar, ikhlas, dan perjuangan.

 

Tawakkal tentang hidup. Esok mau makan apa?. Hidup di negeri orang tidaklah mudah. Butuh usaha yang sangat ekstra untuk dapat bertahan hidup.

 

Mas Gani adalah sosok yang dapat mewujudkan itu. Sekitar 4 tahun ajak keluarga ke Riyadh. Ada 4 anak lahir yang lahir di Kota ini. Saat ini total ada 6 anak.

 

Sabar menjalani hari ini dan esok. Mas Gani melalui fase kehidupan yang sangat menguras energi. Tinggal di kawasan Kota tua Batha, harus pulang-pergi ke kampus setiap hari dengan menumpang bus yang menghabiskan waktu sehari sekitar 3 atau 4 jam.

 

Ikhlas menghadapi kenyataan. Mas Gani datang ke kampus setiap hari. Mendapatkan tugas praktik yang sangat banyak.

 

Jika dilihat dari beban tugas, mestinya Mas Gani ditempatkan posisi sebagai researcher, yang tentu dapat uang saku lebih. Tapi mas Gani tetap berstatus mahasiswa murni. Beliau enjoy saja, jalani hari-hari dengan senyum dan tawa.

 

Mas Gani sadar betul bahwa hidup adalah perjuangan tanpa henti. Sejak awal datang hingga studi selesai, beliau lakukan dengan totalitas. Tanpa keluhan dan tanpa tangisan.

 

Mas Gani kuliah S2 lebih dari 5 tahun. Bukan karena keinginannya, tapi keadaan yang membuatnya demikian.

 

Keberadaan Mas Gani diharapkan dan dinanti banyak orang.

 

Profesor pembimbingnya seolah “menahan” agar jangan cepat-cepat lulus. Keberadaannya sangat dibutuhkan.

 

Mas Gani sering diminta oleh supervisornya untuk mengajari mahasiswa S1,S2, hingga S3 dalam mengerjakan tugas kuliahnya.

 

“Kamu jangan lulus dulu,” demikian kata Profesor yang membimbing beliau, seperti diceritakan Mas Gani.

 

Bagi saya, dan juga teman-teman lain yang hidup berdampingan dengannya, pun merasakan demikian. Ingin agar Mas Gani di Riyadh saja. Jangan pulang dulu.

 

“S2 saya sudah selesai, haji sudah, umrah juga sering. Saya sudah dapatkan semuanya. Sudah saatnya saya pulang,” kata beliau dalam beberapa kesempatan.

 

Bulan lalu, beliau menerima ijazah dan mendapatkan tiket pesawat untuk pulang. Biasanya, mahasiswa yang sudah pada tahapan ini, tinggal ongkang kaki dan santai-santi prepare pulang kampung. Tapi Mas Gani tidak demikian. Mas Gani masih datang ke laboratorium dan ikut rapat pada departemennya. Orang-orang terdekatnya sangat keberatan jika beliau pulang.

 

Mas Gani memutuskan pulang hari Sabtu, 28 Januari 2023 lalu.

 

Saya, teman, dan tetangga mengantar beliau dan keluarga ke bandara King Khalid Riyadh.

 

Bisa disebut, ini adalah wada’ terheboh dan terramai. Kita antar beliau dengan mengajak anak-anak dan istri.

 

Ada air mata haru pada wajah-wajah kita para pengantar.

 

Selamat pulang ke tanah air, Mas Gani Asa Dudin

 

Semoga ilmunya bermanfaat untuk umat dan bangsa.

 

Semoga persahabatan kita didasarkan alhubbu fillah, yang menjadi salah satu bekal di akhirat kita untuk mendapatkan naungan Allah.

 

Sampai jumpa di kesempatan yang berikutnya.

 


 

Sumber: Facebook Budi Marta Saudin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *