Jadikanlah Kematian di Pelupuk Matamu

Apabila datang suara yang memekikkan

Pada hari itu

Manusia lari dari saudaranya

Lari dari ibu dan bapaknya

Lari dari istri dan anak-anaknya

Setiap orang mempunyai urusan yang menyibukkannya

 

Pernahkah di antara kita menyendiri di sebuah ruangan, meninggalkan sementara urusan dunia kita lalu mengingat akan kematian? Pernahkah kita memikirkan, di manakah tempat kita kelak pada yaumul qiyamah? Surga atau neraka?

Satu hal yang paling menarik dan menakjubkan adalah tatkala seseorang mati tersadar di dalam kuburnya. Ia sangat terkejut dengan kondisi yang tidak bisa dilukiskan dan merasa sedih dengan kesedihan yang sangat sulit dibayangkan. Ia membayangkan masa-masa yang telah lewat. Ia ingin agar bisa mengerjakan sesuatu yang belum sempat dikerjakannya dan benar-benar bertaubat. Ia hampir saja bunuh diri tatkala menjelang kematiannya. Andai kata ia mendapatkan suatu pelajaran yang sangat berharga dari semua itu saat masih sehat, pasti ia akan melakukan amal-amalnya dengan penuh ketakwaan.

Bekal apa yang sudah kita persiapkan untuk menghadapi sebuah keniscayaan itu? Masihkah di antara kita terbuai akan keindahan dunia, padahal sungguh semua kenikmatan di dalamnya bersifat fana? Sesungguhnya kita tak harus mengorbankan seluruh waktu untuk meraihnya karena toh kelak kita akan meninggalkannya. Kita tinggalkan dengan kematian.

Seluruh yang kita miliki di dunia ini, apa pun dia, seluruh orang yang kita sayangi di permukaan bumi ini, seluruh pangkat dan kedudukan serta harta benda yang selalu kita simpan, kita sayang-sayangi, serta seluruh waktu yang kita korbankan untuk mengejar dan meraihnya akan kita tinggalkan. Tidak ada yang kita bawa sedikit pun. Dan ini suatu hal yang sangat riil yang diyakini oleh orang muslim dan orang kafir karena terlihat jelas bahwa seluruh yang hidup pasti akan mati. Dan sesungguhnya kehidupan sebelum kematian kita tersebut adalah masa yang panjang untuk beramal. Setelah kematian maka kehidupannya akan lebih berat kita alami daripada kehidupan kita di dunia.

Allah Ta’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Setiap jiwa pasti akan merasakan mati. Dan sesungguhnya balasan atas kalian akan disempurnakan kelak pada Hari Kiamat. Barang siapa yang diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh dia telah beruntung. Tidaklah kehidupan dunia itu melainkan kesenangan yang menipu.” (QS. Ali ‘Imran : 185)

 

Siapa di antara kita yang tidak akan ditimpa oleh kematian?

Kematian tidak memiliki teman.

Jika ia datang maka berakhirlah segala sesuatu.

Kematian tidak memiliki tempat.

Seluruh alam ini adalah tempatnya.

Kita tidak akan bisa berlari atau bersembunyi darinya,

Walau kita berada dalam benteng yang sangat kokoh.

Kematian tidak memiliki waktu.

Ia terus bekerja sepanjang hari, sepanjang masa.

Kematian tidak menunggu seorang pun.

Akan tetapi, kita semua yang menunggunya.

Kematian adalah penghancur angan, penghancur keinginan, penghancur impian.

Ia adalah akhir fase pertama manusia.

Itulah kematian.

 Wahai orang-orang yang terlalu sibuk kepada dunianya, kalian telah tertipu oleh panjangnya angan-angan. Kematian itu datang tiba-tiba dan kuburan adalah tempat pertanggung-jawaban. Bersiaplah untuk kematian karena kita tidak akan pernah tahu apabila malam menutupi siang, apakah kita masih hidup menjelang fajar.

Tangisilah diri kita sebelum orang-orang menangisi kita. Hisablah diri kita sebelum kita dihisab oleh Allah. Jadikanlah bekal takwa yang mengiringi amal kita menuju kampung yang hakiki. Berhiaslah dengan hiasan iman yang dapat menerangi kuburmu.

Kematian ….

Saat itu malaikat maut tepat berada di atas kepalamu. Hatimu bergetar. Nyawamu meregang. Mulutmu terkunci. Anggota badanmu melemas. Lehermu berkeringat. Matamu terbelalak. Pintu taubat sudah tertutup. Orang-orang di sekitarmu menangis, sedangkan kamu sendiri mengerang melawan sakit. Lalu nyawamu diangkat ke langit.

Ia laksana sepucuk ranting yang banyak durinya, yang dimasukkan ke dalam perut seseorang. Setelah tiap durinya mengait sebuah urat, ranting tersebut ditarik oleh orang yang amat kuat tarikannya hingga tercabutlah sejumlah uratnya dan tertinggal sisanya.

Al Imam Abu Bakar bin Abid Dunya meriwayatkan dalam kitab Al Muhtadhirin bahwa tatkala ‘Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu sekarat, putranya berkata, “Wahai Ayah, dahulu engkau sering mengatakan, ‘Andai saja aku berjumpa dengan orang berakal ketika ia sekarat, supaya ia ceritakan kepadaku apa yang dirasakannya. Nah, sekarang engkaulah orang tersebut, maka ceritakanlah bagaimana kematian itu?’ Sang Ayah menjawab, ‘Aku merasa seakan perutku dililit dan aku bernapas dari lubang jarum, seakan ada sepucuk ranting berduri yang diseret dari ujung kaki hingga kepalaku.’”

Masihkah kita bersantai-santai setelah mendengar kabar tersebut? Betapa mengerikan, bukan? Sungguh beruntunglah bagi orang yang dapat mengambil hikmah atas peristiwa kematian orang lain. Dia akan berpikir memutar otaknya, bagaimana agar dia selamat dari adzab kubur, agar perhitungan terhadap dosanya lebih ringan daripada kebaikan yang ia lakukan semasa di dunia.

Sesungguhnya orang yang cerdas akan selalu membayangkan saat-saat kematian tiba dan bekerja dengan tujuan-tujuan yang harus dicapainya. Andaikan ia tidak sanggup membayangkan dalam benaknya keadaan demikian, ia wajib mengekang hawa nafsunya dan berbuat sebaik-baiknya untuk kepentingan hidupnya.

Akan tetapi, jika kesadaran itu baru datang manakala ia sudah berada di gerbang maut, saat itu pintu kesempatan telah tertutup. Diriwayatkan dari Habib Al Ajami bahwa jika dia bangun pagi maka dia pasti mengatakan pada istrinya, “Jika aku mati hari ini maka si fulan yang harus memandikan dan fulan yang harus memikul keranda mayatku.”

Suatu saat ada laki-laki yang membicarakan orang lain dalam ghibahnya. Maka Ma’ruf berkata kepadanya, “Ingatlah tatkala kapas telah diletakkan di atas kedua matamu sebelum engkau dikubur nanti.”

Ambillah bekal di dunia, sebab kita tidak mengira, jika malam telah pekat, akankah kita hidup hingga fajar esok terlihat, berapa pemuda yang waktu-waktunya penuh berisikan tawa, kalau kain kafannya telah dijahit dia tak mengira, berapa pula balita yang berharap panjang umur, jasad tubuhnya keburu dimasukan dalam kepekatan kubur, berapa banyak mempelai berhias untuk suaminya tapi pada malam pernikahan keburu terenggut nyawanya.

Segeralah, beralihlah dari maksiat menuju taat. Pandai-pandailah engkau membawa dirimu ketika berjalan di dunia ini, banyak-banyaklah mengingat pemutus kelezatan. Sungguh kita tidak tahu, bagaimanakah keadaan akhir hayat kita tatkala malaikat maut mencabut nyawa kita. Apakah kesudahan hidup kita di dunia ini akan tertutup dengan husnul khatimah atau kah su’ul khatimah?

Renungkanlah…

Menangislah akan hari-harimu yang tidak engkau isi dengan ketaatan kepada Allah.

Mari sejenak kita renungkan perkataan Imam Asy Syafi’i menjelang detik-detik wafatnya beliau,

“Aku merasa sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini dan berpisah dengan teman-teman. Segelas anggur kematian telah aku teguk dan hanya kepada Allah saja aku kembali. Sungguh, demi Allah aku tidak tahu, ke mana ruhku akan berjalan. Ke surgakah atau ke neraka? Jika ke surga maka aku akan selamat. Namun, jika ke neraka maka aku akan celaka.”

Setelah berkata demikian, beliau menangis sambil melantunkan bait-bait syair berikut,

“Kala hatiku mengeras dan jalanku mulai menyempit

Aku hanya bisa mengharap titian ampunan-Mu

Dosa-dosaku amat besar,

Namun jika aku bandingkan dengan ampunan-Mu, ya Rabb,

Ampunan-Mu jauh lebih besar

Engkau senantiasa melimpahkan ampunan atas segala dosa

Dan Engkau tiada pernah bosan memberi ampunan.”

(Sifat Ash Shofwah, 3/146)

Beliau Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah mewasiatkan kepada kita di akhir hayatnya, “Bertakwalah kepada Allah. Bayangkan akhirat dalam qalbumu. Jadikanlah kematian berada di pelupuk matamu. Dan janganlah engkau melupakan saat berdiri di hadapan Allah. Jadikanlah (dirimu sebagai) orang yang malu kepada Allah. Jauhilah larangan-larangan-Nya dan kerjakanlah perintah-perintah-Nya. Tetaplah konsisten bersama kebenaran di mana pun berada. Sekali-kali, janganlah meremehkan kenikmatan yang diberikan Allah untukmu, kendati pun sedikit. Sambutlah ia dengan rasa syukur. Hendaklah diammu dalam keadaan berpikir, ucapanmu berupa zikir, dan pandanganmu ditujukan untuk mengambil ibrah (pelajaran). Maafkanlah orang yang berbuat aniaya kepadamu. Sambutlah tali (kekerabatan) orang yang memutuskan hubungan silaturahim darimu. Bersikaplah dengan baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu. Bersabarlah terhadap berbagai musibah dan mohonlah perlindungan kepada Allah dari neraka dengan bertakwa.”

Referensi:

–        Al-Qur’an Al-Karim.

–        Shaidul Khathir: Cara Manusia Cerdas Menang dalam Hidup. Imam Ibnu Al-Jauzy. Cetakan Kedua. Juni, 2005. Maghfirah Pustaka.

–        Jeda Rodja.

–        Majalah As-Sunnah, Edisi 08, Tahun 11, 1428 H – 2007 M.

–        http://kaahil.wordpress.com/2012/05/05/inilah-kata-kata-terakhir-imam-syafii-abu-hanifah-imam-malik-rahimahumullah-sebelum-wafat/

Ditulis oleh :

Ummu ‘Affaf

Santri Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta tahun ajaran 1434/1435

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *