Secercah Cahaya dari Sang Pemilik Hidayah

بسم الله الرحمن الرحيم. الحمد لله و الصلاة و السلام على رسول الله

Anugrah terindah ketika secercah cahaya dari langit datang…

Sang Pemilik hidayah merangkul setiap hamba-hamba-Nya yang penuh pengharapan…

 وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ

“Dan jika hambaKu bertanya tentang-Ku, Sesungguhnya Aku Dekat” (QS. Al Baqoroh : 186)

Ketika jejak-jejak kasih sayang Allah sudah mulai tampak di halaman qalbu, awan mahabbah dan kabut cinta Allah sedang berarak di langit hati, pertanda hidayah akan turun menyirami taman jiwa. Tidak berselang lama, akan tumbuh bersemi fitrah yang suci, hadir perasaan tunduk dan patuh pada kebenaran, timbul motivasi dan semangat untuk berbuat kebaikan. Saat itulah kebaikan akan dirasa berarti dan kebahagiaan bisa direngkuh kembali,

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang berjuang dijalan Kami, akan Kami berikan mereka hidayah menuju jalan-jalan Kami” (QS. Al ‘Ankabut : 69)

 Sekirannya ia dibiarkan begitu saja, tidak diolah dengan benar bahkan sering dibiarkan dan dilalaikan, ia akan berlalu dan meninggalkannya dalam kesendirian yang menyebabkan ia harus menunggu dan menunggu pada sebuah penantian yang tidak berkesudahan.

Allah Ta’ala berfirman,

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

“Ketika mereka menyeleweng dari jalan kebenaran , Kami selewengkan hati mereka” (QS. Ash Shaff : 5).

Tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba kecuali ,melanjutkan pencarian dan memperkokoh keyakinan. Karena bangun dari kelalaian merupakan langkah awal dari sebuah perjalanan menuju shiraathul mustaqiim. Jalan yang telah ditempuh oleh para nabi dan rasul, orang-orang shiddiqin, syuhada, dan orang-orang yang shalih. Itu pula yang telah dilalui oleh Rasulullah dan para sahabatnya.

Beragama ala Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan menapaki jejak salafush shalih itulah sebuah keharusan, itulah hidayah yang haqiqi.

Menuju Gerbang Taman Hidayah

Al Khaththabi rahimahullah berkata, “Setiap anak yang dilahirkan pada asal penciptaannya diatas fitrah, yaitu tabiat yang lurus dan prilaku yang selalu siap menerima kebenaran. Sekiranya dibiarkan begitu saja, niscaya fitrah itu akan tetap tumbuh, karena kebenaran agama ini dibenarkan oleh akal, melencengnya banyak orang karena buruknya taqlid dan rusaknya lingkungan. Sekiranya ia lepas dan selamat dari hal itu, niscaya ia tidak memiliki keyakinan melainkan keyakinan Islam

Manusia hakikatnya difitrahkan untuk menerima kebenaran. Tatkala Allah Ta’ala memberi hidayah kepada seseorang, ia mudahkan baginya seseorang yang mengajarkan kebenaran kepadanya. Itulah hidayah perbuatan yang sebelumnya ia telah memperoleh hidayah kekuatan. Hidayah kekuatan adalah fitrah yang Allah letakan pada hatinya sebagai kekuatan untuk mencari hidayah.

Bila hati telah bersinar, berbagai amal kebaikan akan berdatangan dari berbagai penjuru untuk dilaksanakan. Sebagaimana bila ia gelap berbagai bencana dan keburukan pun akan berdatangan dari berbagai tempat.

Imam Ahmad rahimahullah berkata, Kebutuhan seorang hamba kepada hidayah melebihi kebutuhannya dari makan dan minum, kalau makan dan minum hanya dibutuhkan satu atau dua kali saja, sedangkan hidayah dibutuhkan sejumlah nafas”

Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ” Sesungguhnya hidayah itu dibagi menjadi dua, hidayah umum, yaitu hidayah Islam dan iman, dan hidayah khusus, yaitu pemahamannya tentang rincian-rincian ajaran Islam, serta bantuan Allah dalam memahamkannya

 Mempertahankan Hidayah Anugrah Terindah

Pernah kah kita berfikir bahwa kita tengah berada dalam anugrah yang tidak ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang terhalang untuk memperolehnya?

Maka dari itu hidayah itu sangat mahal harganya, terlalu indah untuk dibiarkan begitu saja, dan mempertahankannya –istiqomah-  tentulah amat sangat sulit karena Allah Ta’ala yang menguasai hati-hati kita, Allah lah yang mampu membolak-balikan hati manusia. Salah satu kunci untuk mempertahankan hidayah yang Allah Ta’ala anugrahkan kepada kita diantaranya :

  1. a.      Berdo’a kepada Allah

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Hakim dalam shahih-nya[1] dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,

الدعاء سلاح المؤمن، وعماد الدين، ونور السموات والأرض

“Doa adalah senjata kaum mukminin dan tiang agama, serta cahaya langit dan bumi.”[2]

Doa memiliki keutamaan, diantaranya membuka sesuatu yang tertutup, mendekatkan sesuatu yang jauh, mengumpulkan sesuatu yang terpisah, dan memudahkan sesuatu yang sulit.

Al Hakim meriwayatkan dalam shahih[3]-nya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل

“…..Doa akan memberikan manfaat kepada hal-hal yang terjadi dan yang belum terjadi..” [4]

 

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل فعليكم عباد الله بالدعاء

“Doa akan memberikan manfaat terhadap apa yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Maka hendaklah kalian berdoa wahai hamba-hamba Allah”[5]

  1. b.      Bersemangat Terhadap Kebaikan dan Hal-hal yang Bermanfaat

Kita senantiasa berusaha untuk menjalankan aktivitas-aktivitas kebaikan dan memohon kepada Allah agar diberikan pemahaman. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا

“Dan siapakah yang lebih baik perkatannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan …” (QS : Al Fushilat 33)

 Dari sahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

“Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memberikan pemahaman agama kepadanya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Diantara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi. Dinilai shahih oleh Al Albani)

Wahai diri, bersemangatlah terhadap apa-apa yang bermanfaat bagimu, dengan pertolongan Allah dan jangan merasa lemah.

Bahagianya Bila Menjadi Perantara Hidayah Bagi Orang Lain

Ketika kita sudah mencicipi lezatnya hidayah dari Allah, indahnya hidayah dari Allah, betapa nikmatnya melakukan ketaatan, betapa bahagianya ketika orang lain dapat merasakan apa yang kita rasakan, merasakan hangatnya dalam berselimut hidayah dalam dekapan cinta dari Rabbul ‘aalamiin.

Tak ada salahnya jika kita ingin berusaha agar orang lain juga merasakan nikmatnya iman, islam, dan ihsan. Namun ada yang perlu diperhatikan agar hati bertemu hati berpadu dalam dekapan ukhuwah. Untuk itu jangan pernah bosan untuk menuntut ilmu syar’i karena kita tidak mungkin menyampaikan nasihat dan ilmu kepada orang lain namun kita sendiri tidak mengetahuinya.

Lalu perhatikan akhlak, karena akhlak merupakan cermin diri, dan akhak yang baik akan mudah diterima oleh hati termasuk dalam berlemah lebut. Hendaknya kita santun dalam perkataan dan berbudi dalam prilaku.

Dari sahabat Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

”Barang siapa mengajak (manusia) kepada petunjuk maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR. Muslim)

Mungkin ada diantara kita yang sudah berusaha untuk mendakwahi, menasihati orang-orang terdekat atau sahabat atau orang tersayang, tetapi tidak didapatinya tanda-tanda perubahan pada dirinya, kita tidak mendapatinya satu titik yang menujukan hadirnya hidayah Allah dalam dirinya.

Jangan bersedih wahai saudaraku, lupakah engkau dengan satu hal? Allah yang menguasai hati orang tuamu, menguasai hati adikmu, kakakmu, hati anak-anakmu, hati sahabatmu, kerabatmu, saudaramu, bahkan hatimu sendiri!

Firman Allah Ta’ala,

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb seluruh alam” (QS. At Takwir :29)

Jangan pernah bosan untuk terus panjatkan doa kepada Allah, meminta pada-Nya cahaya hidayah, untukmu dan orang-orang mukmin. Jangan pernah berhenti untuk meminta kepada Sang Maha Pemberi Harapan, mintalah pada-Nya diwaktu-waktu mustajab. Kita boleh berusaha untuk menjadi perantara hidayah bagi orang lain, tetapi jangan pernah lupa bahwa Allah-lah Sang Pemilik Hidayah.

 

Daftar Pustaka

  1. Yaa Tholibal Ilmi, Kaifa Tahfadz, Kaifa Taqra, Kaifa Tafham, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz As Sadhan
  2. Al Qur’an Terjemah
  3. Ad Daa wad Dawaa’, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, Pustaka Imam Syafi’i
  4. Adab Dan Akhlak Penuntut Ilmu,  Yazid bin Abdul Qadir, Pustaka At Taqwa
  5. Tazkiyatun Nafs Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafush Shalih, Pustaka Arafah-Solo
  6. Untukmu yang Berjiwa Hanif, Armen Halim Naro, Pustaka Darul Ilmi
  7. Matan Hadist Arbain An Nawawi

Ditulis oleh :

Ummu Tsurayya

Santri Ma’had Al ‘Ilmi tahun ajaran 1434/1435



[1] Yakni Al Mustadrak karya  Al Hakim sebagaimana keterangan Syaikh ‘Ali Al Halabi dalam tahqiq beliau untuk Ad Daa wad Dawaa cet. Daar Ibnil Jauzy -ed

[2] Syaikh ‘Ali Al Halabi mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Mustadrak (1/492), Abu Ya’la (439), Ibnu ‘Adi (6/2181), Al Qudha’iy dalam Musnad Asy Syihab (143). Ini adalah hadits yang sangat lemah karena terdapat perawi yang bernama Muhammad bin Al Hasan Al Hamdani yang statusnya matruk. Untuk lebih detailnya silakan lihat Silsilah Adh Dha’ifah (179) karya guru kami Al Albani” (takhrij Ad Daa wad Dawaa, hal. 16)ed

[3] Lihat footnote nomor 1 -ed

[4] Al Haitsami mengatakan, Salah satu perawi hadits ini adalah Zakariyya bin Manzhur, ia dinilai tsiqah oleh Ahmad bin Shalih Al Mishry, dan dinilai dha’if oleh jumhur ulama. Sementara perawi lainnya adalah perawi yang tsiqah” (Majma’uz Zawaa-id, 10/146). Hadits ini dinilai hasan oleh Al Albani dalam Shahihul Jami’ Ash Shaghir (no. 7739). -ed

[5] Syaikh ‘Ali Al Halabi mengatakan, “Diriwayatkan oleh Al Hakim dalam Al Mustadrak (1/493). Hadits ini dinilai dha’if oleh Adz Dzahabi dalam At Talkhis. Diriwayatkan juga oleh Tirmidzi no. 3548 dan beliau nilai dha’if. Tapi hadits ‘Aisyah sebelumnya menguatkan hadits ini. Syaikh Al Albani menilainya hasan sebagaimana di Shahihul Jami’ no. 3409” (takhrij Ad Daa wad Dawaa, hal. 17) -ed

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *