Tawakkal Kepada Allah

Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah kemudharatan yang menyangkut urusan dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya jalan keluar dan memberi dia rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS. Ath Thalaq : 2-3)

            Artinya, barangsiapa yang percaya kepada Allah, menyerahkan semua urusan kepada-Nya maka Dia akan mencukupi segala keperluannya. Barangsiapa mewujudkan takwa dan tawakkal, akan dapat menggapai seluruh kebaikan agama dan dunianya.

Dari ‘Umar bin Khaththab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا

“Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian seperti seekor burung. Pagi-pagi ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang”. (HR. Tirmidzi Az Zuhd VII/8. Ia berkata, “Hasan Shahih”. Juga dinyatakan shahih oleh Al Hakim IV/310 dan disepakati oleh Adz-Dzahabiy)

Abu Hatim Ar Raziy berkata, “Hadits ini merupakan tonggak tawakkal. Tawakkal merupakan faktor terbesar dalam mencari rezeki.”

 

Sa’id bin Jubair berkata, “Tawakkal itu keseluruhan iman.”

Mewujudkan tawakkal bukan berarti meniadakan usaha. Taqdir Allah dan sunnah-Nya sehubungan dengan makhluk berkait erat dengan ikhtiar. Wajib bagi kita bersandar kepada Allah dalam segala hal. Akan tetapi, Allah juga memerintahkan untuk berikhtiar sekaligus bertawakkal. Berusaha dengan anggota badan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan bertawakkal dengan hati sebagai manifestasi iman kepada-Nya. Adapun hasilnya tetap kita serahkan kepada Allah.

Yang dimaksud mengambil sebab dalam hal ini adalah bukan semata-mata bersandar kepada sebab. Sebab di sini hanyalah sebagai perantara dalam usaha yang kita lakukan. Maka dari itu Allah memerintahkan kita untuk mengambil sebab. Seseorang yang menafikan sebab sama dengan mencela syari’at. Tawakkal tanpa mengambil sebab adalah sesuatu yang tercela. Namun, jika hanya bersandar pada sebab ini adalah suatu kesyirikan karena termasuk bersandar kepada selain Allah.

Sahl bin ‘Abdullah At Tustari berkata, “Barangsiapa cacat dalam berikhtiar berarti cacat dalam sunnah. Barangsiapa cacat dalam bertawakkal berarti cacat dalam iman. Tawakkal adalah sikap Nabi dan ikhtiar adalah sunnahnya. Barangsiapa yang bersikap seperti Nabi, janganlah ia meninggalkan sunnahnya.”

Disebutkan pula, “Tidak mengadakan ikhtiar dianggap cacat dalam hukum. Sedangkan mengandalkan usaha semata adalah adalah cacat dalam tauhid.”

Amalan yang dikerjakan oleh seorang hamba itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam:

  1. Bentuk-bentuk ketaatan, perintah Allah kepada hamba-hamba-Nya, di mana Allah menjadikannya sebagai sebab keselamatan dari neraka dan masuk surga. Ini harus dikerjakan sambil bertawakkal kepada Allah dan memohon pertolongan kepada-Nya.

Yusuf bin Asbath menukil perkataan seseorang, “Beramallah seperti amalan seseorang yang tidak akan selamat tanpanya. Dan bertawakkallah seperti tawakkalnya seseorang yang tidak ditimpa sesuatu kecuali yang sudah ditulis baginya.”

  1. Amal yang telah dijadikan Allah sebagai hukum sebab akibat. Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memenuhinya. Seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, berteduh dari kepanasan, dan lain sebagainya. Semua ini hukumnya wajib. Barangsiapa mengabaikannya sehingga terkena marabahaya padahal ia mampu melakukannya maka ia tercela.
  2. Amal yang telah dijadikan Allah sebagai hukum sebab akibat pada kebanyakan dan keumumannya. Kadang-kadang terjadi sesuatu di luar itu, sesuai yang Allah kehendaki. Misalnya obat-obatan. Para ulama berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama bagi yang ditimpa suatu penyakit dan benar-benar bertawakkal kepada Allah, berobat, atau justru membiarkannya.

Ada dua pendapat yang sama-sama masyhur. Menurut Imam Ahmad, bagi mereka yang kuat bertawakkal lebih utama. Sesuai dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

هَذِهِ أُمَّتُكَ، وَيَدْخُلُ الجَنَّةَ مِنْ هَؤُلاَءِ سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Ada tujuhpuluh ribu orang dari ummatku yang masuk surga tanpa hisab”

 Lalu beliau melanjutkan,

هُمُ الَّذِينَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ، وَلاَ يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَكْتَوُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“mereka adalah yang tidak bertathayyur (beranggapan sial terhadap sesuatu), tidak meminta di-ruqyah, tidak berobat dengan besi panas (digosokkan ke badan) dan hanya bertawakkal kepada Rabb mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sementara mereka yang menguatkan pendapat untuk berobat beralasan bahwa itu adalah sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau selalu berobat di kala sakit. Dan tentunya Nabi selalu memilih yang paling utama. Mereka memahami hadits di atas dengan mengatakan meminta di-ruqyah itu makruh hukumnya.

Mujahid, Ikrimah dan An Nakha’iy dan tidak sedikit dari kalanga salaf berkata, “Rukhshah untuk meninggalkan ikhtiar sama sekali (dalam berobat-ed), hanya diberikan bagi mereka yang hatinya benar-benar sudah putus dari makhluk (merealisasikan hakikat tawakkal-ed)”

Maka berusahalah dengan sungguh-sungguh dalam mencari rezeki yang halal dan kebaikan-kebaikan lainnya, serta jangan lupa untuk menyandarkan hati kita kepada Allah atas segala sesuatu, bukan kepada usaha yang kita lakukan.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memudahkan rezeki yang halal dan berkah bagi kita semua, serta menolong kita untuk selalu istiqamah di atas petunjuk-Nya sampai hari akhir kelak. Aamiin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Ummu Shabrina

Santri Ma’had Al ‘Ilmi tahun ajaran 1434/1435

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *